Minggu, 16 November 2008

MENYOAL PRIORITAS KERJA KPU

Iklim politik pasca reformasi 1999 menjanjikan terselenggaranya pesta demokrasi (pemilu) berjalan secara jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia (jurdil dan luber). Hal ini kemudian dibuktikan dengan ketiadaan intervensi dari pemerintah dalam mempengaruhi pemilih untuk memilih. Indikator lain adalah banyaknya partai politik yang menjadi peserta pemilu. Pemilu, sebagai sebuah tonggak demokrasi, pada pasca reformasi dapat dikatakan mendapatkan penghormatan yang tertinggi di Indonesia saat ini. Pelaksanaannya dianggap seolah ritual suci yang harus dilakukan agar demokrasi terselenggara secara ideal.

Adapun KPU sebagai sebuah lembaga penyelenggara pemilu juga mendapatkan penghormatan yang tinggi. Setelah sebelumnya pada pemilu 1999 KPU masih berisi dengan orang-orang partisan, di tahun 2000 dibentuklah KPU dengan format yang baru. Format baru ini mensyaratkan KPU menjadi independen dan bebas dari orang partai politik. Oleh karenanya dengan format seperti ini kedudukan KPU sebagai penyelenggara ritual tersuci dalam sistem demokratis ala Indonesia amatlah besar. Sebab hasil dari pemilu yang merupakan kewenangan KPU akan sangat mempengaruhi terciptanya iklim demokrasi di Indonesia. Adapun tanggung jawab KPU terletak dalam penyelenggaraan pemilu tersebut, apakah pemilu telah diselenggarakan dengan baik dan mekanisme jurdil luber dilakukan. Juga apakah berbagai mekanisme pemilu yang sifatnya administratif dan teknis berhasil dilakukan. Pada intinya, KPU memiliki peran yang besar dalam momentum penegakkan kembali tonggak demokrasi. Namun ada banyak pekerjaan KPU yang terbengkalai. Tulisan ini mencoba melakukan telaah bagaimana kinerja KPU mekehilangan prioritas kerjanya mampu menghambat proses pemilu 2009 yang akan datang.

Kinerja KPU
Amat disayangkan, KPU yang memiliki peran dan tanggung jawab besar terhadap terselenggaranya pemilu yang demokratis hingga saat ini belum menunjukkan tajinya. Kesimpulan ini penulis lihat dari pelaksanaan pemilu yang tinggal 5 bulan lagi, namun banyak pekerjaan KPU yang belum selesai dan malah ‘amburadul’. Selain itu, KPU juga sering melakukan kesalahan yang berulang, yang menunjukkan ketidakseriusan KPU dalam menjalankan tugasnya. Kesalahan yang dimaksud antara lain lolosnya beberapa caleg yang masih bermasalah secara administratif dalam daftar calon anggota legislatif (DCT), ralat pada DCT yang telah ditetapkan, setelah sebelumnya KPU meralat DCS berkali-kali. Bahkan ironisnya, dalam DCT yang ditetapkan KPU terdapat dua daerah pemilihan hilang, serta terdapat kesalahan pemuatan logo Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI) pada kolom logo Partai Gerindra di seluruh daerah pemilihan. Banyaknya kesalahan yang berulang kali ini menunjukkan ketidakseriusan KPU dalam menjalankan tugasnya. Keadaan ini juga ikut diperburuk dengan ketiadaan DPT untuk daerah Papua Barat dan Luar Negeri. Dan dari DPT yang telah ditetapkan sekitar 12 persen pemilih belum terdata, ini tentunya akan menjadi masalah di kemudian hari karena partai politik dapat menggugat KPU terkait hal ini.

Pekerjaan Rumah KPU
Terkait dengan persoalan ketidakseriusan, dampaknya adalah menumpuknya pekerjaan rumah KPU, dan lanjutan dari menumpuknya pekerjaan rumah adalah rendahnya kualitas hasil pekerjaan. Buktinya, KPU hingga kini belum menetapkan pedoman pelaporan dana kampanye. Padahal di dalam UU terdapat kewajiban untuk melakukan audit terhadap dana kampanye. Tentunya ini merupakan sebuah kecerobohan, sebab selain akan menyebabkan berantakannya laporan dana kampanye karena tidak ada standar baku, juga akan menimbulkan banyak celah mengenai audit dana kampanye yang bisa ‘dimainkan’ oleh peserta pemilu 2009. Hal ini dapat berakibat pada banyaknya ‘dana siluman’ yang akan mengalir ke dalam pos-pos tim pemenangan partai.

KPU juga masih memiliki kewajiban untuk mengeluarkan beberapa aturan seperti penetapan format surat suara, tata cara memberikan suara, ketentuan sahnya pemberian suara dan sosialisasinya. Setelah penyusunan DCT dan format suara, KPU harus segera menyiapkan strategi sosialisasi kebijakan, khususnya pemberian suara, dan peraturan lainnya.

Bakal Masalah Baru : Kerja KPU Yang Serampangan
KPU juga harus memikirkan ‘bakal masalah’ yang akan muncul terkait beberapa kebijakan KPU yang diambil secara ‘sembrono’. Pertama, penetapan jumlah pemilih sebanyak 500 orang per TPS, di mana sebelumnya hanya 350 pemilih per TPS. Ini tentunya akan memperpanjang waktu penghitungan suara (hingga malam), sedangkan tidak seluruh daerah mendapatkan pasokan listrik yang baik (sering mati lampu di malam hari), ini menyebabkan resiko kesalahan akan besar. Ditambah lagi dengan mekanisme ‘contreng’ bukan ‘coblos’ yang tentunya menyita perhatian lebih dalam penghitungan suara.

Kedua, KPU perlu mewaspadai ikutnya perusahaan dan pengusaha yang tidak layak, yang pernah mengikuti proses pengadaan logistic pada pemilu 2004, agar tidak terpilih dalam pemilu kali ini. Sebab ketidaklayakan logistik pemilu akan mempengaruhi kualitas pemilu. Ketiga, tindakan KPU yang menyegerakan pelaksanaan tender logistik pemilu di saat DPT yang dikeluarkan KPU belum fix. Padahal sedikit saja penambahan ataupun pengurangan logistik dapat berimplikasi pidana (korupsi).

Kepergian KPU ke luar negeri
Meski kinerja KPU dalam mengurusi permasalahan pemilu dalam negeri ‘amburadul’, namun KPU masih tetap bersikeras melanjutkan sejumlah perjalanan ke luar negeri. Sejauh ini KPU telah melakukan kunjungan ke empat negara, masih ada 10 negara lagi (Filipina, India, Afrika Selatan, Mesir, Arab Saudi, Rusia, Perancis, Spanyol, Amerika Serikat, dan Kuba) yang akan KPU kunjungi hingga Desember 2008 nanti. Kenekatan KPU untuk tetap melakukan kunjungan luar negeri ini menjadi sebuah pertanyaan besar, mengingat bahwa jumlah pemilih di luar negeri tidak seberapa besar dibandingkan dengan pemilih dalam negeri. Sehingga tentunya kebutuhan perhatian anggota KPU terhadap masalah dalam negeri lebih tinggi dibandingkan luar negeri. Ditambah lagi sosialisasi pemilu di dalam negeri masih amat minim.

Berdasarkan paparan di atas, pada hakikatnya inti masalah dari amburadulnya kinerja KPU terletak pada ketiadaan prioritas kerja KPU. Beberapa hal penting yang seharusnya menjadi prioritas utama, justru dikesampingkan KPU, dengan mendahulukan hal lainnya yang sifatnya tambahan. Kunjungan KPU ke luar negeri, misalnya, meskipun KPU telah mendapatkan restu dari presiden untuk melakukan kunjungan, namun tidak lantas hal tersebut menjadi pembenaran KPU untuk tetap melakukan kunjungan, sementara beberapa permasalahan yang lebih utama dan penting lainnya terbengkalai. Oleh karenanya kenekatan KPU untuk melakukan kunjungan ke luar negeri ini tentu menjadi salah satu catatan penting ketiadaan prioritas kerja KPU.

Ketiadaan prioritas kerja KPU ini dapat berdampak serius terhadap kualitas pemilu. Dapat dikatakan demikian karena hal ini berdampak serius terhadap kinerja KPU yang cenderung lamban dan tidak bagus. Kinerja KPU yang tidak bagus ini dapat mengakibatkan rendahnya partisipasi pemilih dalam memilih. Secara struktur, akibat kelalaian KPU, 12 persen pemilih terindikasi tidak dapat memilih karena tidak terdaftar sebagai pemilih. Sedangkan secara kultur, buruknya kinerja KPU dapat menyebabkan pemilih enggan menggunakan hak pilihnya, karena menilai bahwa kinerja KPU yang meragukan menyebabkan tidak validnya hasil pemilu. Sehingga akan timbul anggapan bahwa memilih atau tidak memilih tidak akan memiliki dampak signifikan terhadap hasil pemilu.

Adanya penurunan pemilih ini akan berakibat serius terhadap legitimasi masyarakat terhadap pemimpin yang dihasilkan. Mengingat bahwa dalam demokrasi berlaku asas one man one vote, maka semakin rendah jumlah pemilih, maka semakin rendah pula legitimasi masyarakat terhadap pemimpin terpilih.

Pergantian Anggota KPU
Buruknya kinerja KPU dalam mempersiapkan pemilu oleh berbagai kalangan ditanggapi dengan tuntutan pergantian anggota KPU. Beberapa kalangan menilai bahwa pergantian anggota KPU merupakan piliihan logis untuk menyelamatkan pemilu dan demokratisasi bangsa. Meskipun tidak ada jaminan bahwa dengan pergantian anggota KPU pemilu akan berjalan lancar, namun jaminan bahwa pemilu juga akan berjalan lancar jika tetap mempertahankan komisioner KPU yang terlanjur amburadul. Wacana pergantian anggota KPU ini juga muncul akibat dari berulangkalinya KPU melakukan kesalahan yang sama. Ini menunjukkan bahwa KPU bebal dan tidak mau belajar dari kesalahan.

Akan tetapi mengingat sedikitnya waktu yang tersisa menuju pemilu. Maka opsi pergantian anggota KPU dapat dikatakan tidak cukup realistis, dan justru malah akan memperburuk pemilu. Ini mengingat bahwa, pertama, pergantian anggota KPU akan memakan waktu yang cukup lama, sebab meskipun pemilihan anggota KPU merupakan wewenang DPR, namun kandidat yang calon anggota KPU ditentukan oleh presiden. Tentu proses ini akan memakan waktu yang lama, karena melibatkan dua lembaga tinggi Negara yakni legislatif dan eksekutif.
Kedua, anggota KPU baru yang terpilih pasti akan memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan barunya. Dengan demikian, akan ada waktu yang tersia-sia akibat dari perubahan ini, padahal pelaksanaan pemilu sebentar lagi. Ketiga, tidak ada jaminan bahwa dengan pergantian anggota KPU, pemilu akan lebih baik dan berkualitas. Ini tentunya merupakan sebuah solusi gambling, dan beresiko tinggi terhadap konstabilitas sosial politik Indonesia.

Pembenahan Prioritas Kerja KPU : Opsi Realistis
Berdasarkan paparan di atas, maka opsi yang paling realistis untuk menghasilkan pemilu yang berkualitas adalah dengan jalan melakukan pembenahan terhadap prioritas kerja KPU. Sehingga diharapkan bahwa dengan membaiknya prioritas kerja yang disusun oleh KPU, maka kinerja KPU akan membaik pula.

Akan tetapi kemudian pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana melakukan pembenahan prioritas kerja KPU, sementara internal KPU sendiri merasa bahwa tidak perlu dilakukan pembenahan prioritas kerja. Maka tugas ini selanjutnya adalah merupakan tugas seluruh pihak yang menginginkan adanya pemilu yang berkualitas, yang tidak sekedar pemilu berharga tinggi. Semua pihak, baik masyarakat, LSM, partai politik, DPR, bahkan presiden harus mau dan ikut campur tangan dalam memantau kinerja KPU, demi terciptanya pemilu pemilu yang berkualitas.

Masyarakat sebagai tulang punggung demokrasi, harus secara jeli mengawasi KPU, contoh sederhananya adalah dengan memastikan dirinya telah terdaftar dalam DPT. Satu suara sangat berharga dalam demokrasi, karena one man one vote.
LSM sebagai lembaga yang dibentuk dengan tujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat, harus aktif dan vokal terhadap kinerja KPU. Mengingat bahwa LSM merupakan salah satu social control bagi KPU dalam menjalankan tugasnya, maka peran ini tentunya tidak boleh berhenti, meskipun KPU terkesan tidak peduli dan mengabaikan saran dan masukan LSM. Selain itu partai politik, sebagai pihak yang paling memiliki kepentingan terhadap KPU (hasil pemilu) juga harus turut serta dalam membenahi kinerja KPU. Sebab hasil pemilu sangat menentukan kelangsungan hidup partai politik kedepannya.

Pada intinya seluruh elemen yang ada di dalam masyarakat harus secara aktif memonitoring KPU. Ini ditujukan agar KPU konsisten dan fokus terhadap tugas yang diembannya. Dan tentunya hal ini dilakukan agar pemilu 2009 terselenggara dengan baik dan mampu menciptakan hasil yang baik pula.

Wallahua’lam bisshowab

Fitria Nur Fadhilah
(peneliti institute for sustainable reform)

Tidak ada komentar: