Rabu, 09 Desember 2009

Suamiku, aku rela meninggalkanmu…

“Apabila kepentingan perkawinan bertumbukan dengan kepentingan dakwah kepada Allah, maka perkawinan akan berhenti dan kepentingan dakwah akan terus berlanjut dalam semua kegiatan dan kehadiranku…”

(Zainab Al-Ghazali)

Inilah yang dikatakan Zainab Al-Ghazali sebelum menikah dengan suaminya Muhammad Salim. Bagi Zainab, pernikahan tidaklah boleh menjadi alasan bagi dirinya untuk melemah atau bahkan absen dari kontribusi terhadap da’wah. Untuk menjaga hal ini Zainab bahkan tidak meminta mahar kepada calon suaminya saat itu. Baginya, cukup janji calon suaminya untuk tidak melarang dirinya menunaikan tugas di jalan Allah SWT sebagai pengganti atas maharnya.

Hubaib bin Maslamah al-Fahri seorang panglima perang memiliki istri yang juga merupakan prajurit dalam pasukannya. Sebelum berperang melawan pasukan Romawi, istrinya bertanya, “Di mana aku menemuimu bila perang telah berkecamuk dan barisan pasukan bercerai-berai?”. Dia menjawab, “Kamu akan menemuiku di tenda panglima Romawi atau di Syurga”. Setelah perang berkecamuk, dan Allah SWT memberikan kemenangan kepada tentara muslim, Hubaib segera menuju kemah panglima Romawi untuk menunggu istrinya. Namun ternyata, istrinya telah berada di tenda panglima pasukan Romawi terlebih dahulu. Pernikahan tidak membuatnya terlena sebagai prajurit.

Ummu Imarah (Nusaibah binti Ka’ab) menjadi tameng bagi Rasul saat perang uhud. Atas keperkasaannya ini hingga suatu saat Rasul mengucapkan, “Aku tidak menoleh ke kiri dan ke kanan pada perang Uhud, melainkan aku selalu melihatnya berperang melindungiku”. Ummu Imarah tetap sigap, meski ia sudah menjadi seorang ibu.

Pernikahan, tidak membuat peran ketiga perempuan tersebut memudar dari ranah da’wah. Pernikahan justru membuat kontribusi mereka berlipat ganda dalam menghidupkannya. Ranah yang kini kerap kali ditinggalkan oleh para perempuan ketika memasuki pernikahan. Mereka cenderung terjebak dalam aktivitas domestik, hingga melupakan tanggung jawabnya dalam berda’wah di masyarakat.

Perempuan masa kini dan pernikahan

Perempuan, sebelum menikah seringkali lebih banyak mengisi aktivitas kesendiriannya dengan hal-hal yang bersifat pemenuhan ke-egoan dibandingkan untuk memenuhi panggilan da’wah. Semua kegiatan dilakoni dengan judul “mumpung belum menikah”. Perbincangan pra menikah pun lebih sering mengenai impian-impian mengenai siapa dan bagaimanakah sosok ‘pangeran berkuda putih’nya akan datang, dibandingkan langkah-langkah besar apa yang akan dilakukan untuk da’wah bersama pangeran tersebut.
Sedangkan setelah menikah, perempuan seringkali terjebak dalam pemikiran sempit mengenai kewajiban seputar urusan rumah tangga. Sehingga persiapan yang dilakukan menjelang pernikahanpun, hanya berkisar bagaimana memasak masakan yang lezat, mencuci baju yang bersih kemudian menyetrikanya hingga licin. Bahkan, ketika memiliki buah hati, perempuan –lagi-lagi– terjebak dalam rutinitas mengurus anak, setelah sebelumnya hanya mengurus suami. Soal da’wah? Urusan belakangan, bila sempat, “Namanya ibu-ibu, maklumlah…”, selalu begitu dalihnya.

Akhirnya, setelah menikah perempuan menjadi jumud, statis dalam berda’wah karena hanya memerankan peranan domestik. Padahal perempuan hadir di dunia ini tidak sekedar untuk menjadi isteri dan ibu. Perempuan lupa, bahwa ia juga hamba Allah yang memiliki kewajiban berda’wah, status yang sama dipikul oleh kaum lelaki. Sebagaimana Allah berfirman, “Orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang makruf dan mencegah yang mungkar.” (At Taubah: 71).

Kealfaan Perempuan Masa Kini dalam Menyusun Konsepsi Berda’wah Setelah Menikah

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Mengapa pula manusia-manusia super pemberi kontribusi besar bagi kebangkitan Islam lebih banyak lahir di masa lalu? Jawabannya jelas, perempuan masa kini alfa untuk menyusun konsepsi da’wahnya setelah menikah. Hal yang tidak dilakukan oleh perempuan-perempuan hebat pencetak sejarah dan juga penghasil generasi bersejarah di masa lalu.

Pada akhirnya pernikahan bagi kebanyakan perempuan saat ini hanya sekedar penambahan, satu ditambah satu menjadi dua. Sehingga dalam berda’wah, bila sebelumnya kita sendiri, sekarang menjadi berdua. Cukup sampai di situ. Bahkan, lebih sering pernikahan menjadi pengurangan. Perempuan, karena mengurus pasangannya, kekuatannya dalam berda’wah menjadi surut, dan sisa hanya tinggal setengah. Naudzubillah.

Padahal pernikahan sejatinya bukanlah sekedar pertambahan, satu dengan satu sehingga menjadi dua. Apalagi menjadi pengurangan. Pernikahan sejatinya adalah pelipatgandaan seseorang menjadi lima, sepuluh, bahkan seratus. Sehingga bersatu padunya dua insan manusia di dalam mahligai pernikahan, akan menjadikan kontribusinya pada da’wah berlipat ganda. Berlipat ganda bukan sekedar akan memiliki anak 5 atau bahkan sepuluh. Namun lebih pada kekuatan tempurnya dalam da’wah yang menjadi berlipat ganda.

Bila konspesi ini dimiliki oleh perempuan sebelum menikah, maka pernikahan tidak akan menjadi gerbang kejumudan bagi perempuan. Tetapi justru merupakan gerbang perubahan, menuju langkah-langkah besar dalam berda’wah. Dari awalnya sendirian menjadi berjama’ah.

Pernikahan justru tidak membuat Zainab Al-Ghazali lebih permisif dalam aktivitas kejama’ahannya di ranah publik. Meski ia juga memiliki kewajiban di dalam rumah tangga, namun itu tidak menjadi alasan. Ia bahkan jauh lebih produktif setelah menikah.

Senada dengan Istri Hubaib sang panglima perang, kisah di atas membuktikan bahwa di dalam perang tersebut sang istri begitu tangkasnya dalam berperang hingga mampu mendahului Hubaib masuk ke kemah panglima perang. Begitupula dengan Ummu Imarah, yang tetap sigap dan mampu menjadi tameng Rasul, meskipun status ibu-ibu tengah di sandangnya.

What Women Should do…

Sebelum menikah, perempuan harus sudah menyiapkan rencana besar mengenai langkah-langkah pelipatgandaan diri dalam kontribusinya dalam da’wah. Hal-hal apa sajakah yang menjadi kewajiban dan keharusan baginya yang dilakukan untuk da’wah setelah menikah. Begitupula dengan hal-hal yang tidak bisa dinegosiasikan ataupun dikompromikan untuk da’wah meski di dalam pernikahan.

Apabila sudah menikah, dan belum memiliki konsepsi kontribusi da’wah yang jelas, maka tidaklah terlambat untuk menyusunnya saat ini. Bersama suami bahkan lebih baik dan indah.

Kompromi di dalam pernikahan adalah sebuah kemutlakan. Tetapi tidak ada kompromi dalam hal minusnya kita dari da’wah. Maka semoga kita diberikan cukup kekuatan untuk mampu seperti Zainab, Istri Hubaib ataupun Ummu Imarah dalam berda’wah. Semoga pula kita mampu seperti Zainab yang mampu berucap :

“Kini aku mohon agar kau mau memenuhi janjimu itu. Jangan bertanya aku bertemu dengan siapa. Dan aku memohon dari Allah agar pahala jihad ini dibagi antara kita berdua bila Dia berkenan menerima baik amalku ini.
Aku menyadari, memang hakmulah untuk memberikan perintah kepadaku untuk aku patuhi. Akan tetapi Allah SWT dalam diriku lebih besar dari diri kita dan panggilanNya terasa lebih agung”

Semoga pula bila pernikahan menuntut kita meninggalkan da’wah, kita mampu berucap :
“Suamiku, maafkan aku, bila kau menghalangiku dari da’wah, sungguh aku rela meninggalkanmu….”


Fitria Nur Fadhilah
Writer_preneur
(Lihat majalah Khalifah, rubrik sekar masa)