Senin, 01 Desember 2008

IKLAN POLITIK: SEKEDAR PARODI PENGHIBUR RAKYAT

Abstraksi

Momentum Pilpres 2009 tampaknya menarik hati tokoh-tokoh politik untuk ikut berkontestasi. Hingga kini ada banyak nama yang disebut-sebut bakal memperebutkan posisi RI 1. Mulai dari SBY dan JK yang kini berposisi sebagai incumbent, elit-elit parpol seperti Sutrisno Bachir, Prabowo Subiyanto, Wiranto, Hidayat Nur Wahid, Sri Sultan, Akbar Tanjung , Yusril Ihza Mahendra, Gus Dur. Sampai kepada orang-orang di luar parpol semisal Sutiyoso, Rizal Ramli, Fadjroel Rahman dan Ratna Sarumpaet. Pengamat politik Rizal Malarangeng sebelumnya juga sempat berniat ikut ambil bagian, namun akhirnya menunda untuk mencalonkan diri dan akan kembali di tahun 2014.
Berbagai manuver dilakukan tokoh-tokoh tersebut. Mulai dari mengunjungi tokoh sosial keagamaan untuk meminta dukungan hingga ’menggenjot’ popularitas mereka melalui iklan politik. Namun sepertinya strategi terakhir ini yang paling populer digunakan para capres untuk menaikkan tingkat popularitasnya. Bisa kita lihat dari marak bermunculannya iklan politik.

Sayangnya, iklan politik yang ada hanya sekedar menawarkan parodi politik. Hanya menawarkan kelahiran calon superhero baru, yang benar-benar akan menjadi superhero apabila ia menjadi presiden. Jika tidak, maka masing-masing superhero akan kembali ke rumahnya masing-masing, beristirahat, sambil menyiapkan parodi serupa untuk Pemilu dan Pilres 2014. Alhasil dengan kondisi seperti ini, iklan politik ada yang sebatas parodi politik, sebuah lawakan penghibur hati rakyat yang kondisinya sedang susah. Sekedar memberikan bunga tidur bagi rakyat bahwa superhero akan datang besok pagi, menyelamatkan bangsa ini. Padahal –lagi-, ke-superhero¬-an mereka hanya sebatas ada di layar televisi. Sama seperti superman, batman ataupun X-Man yang ada di televisi, dan tidak mampu menjadi nyata dalam dunia realita.

Iklan Politik : Munculnya Superhero Baru

Beberapa bulan terakhir ini rakyat dikagetkan dengan kehadiran Soetrisno Bachir (SB) dengan slogan ‘Hidup adalah Perbuatan’ yang memenuhi layar televisi, baliho-baliho di jalanan, radio, hingga bioskop. SB yang sebelumnya bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa, tiba-tiba saja masyarakat menjadi hafal dengan slogan ‘Hidup adalah Perbuatannya’, yang seolah-seolah mencitrakan dirinya telah melakukan kontribusi besar bagi bangsa, seperti kontribusi Chairil Anwar, Soe Hok Gie ataupun Harry Rusli yang ia catut namanya di dalam iklannya.

Publik juga tiba-tiba menjadi simpati dengan Wiranto, karena iklan politiknya yang mengkritisi Pemerintah soal kemiskinan yang terus saja melanda Indonesia. Tidak seperti yang selalu dikabarkan Pemerintah bahwa kemiskinan di Indonesia telah berkurang, Wiranto dalam iklan politiknya mengungkapkan bahwa Indonesia justru menjadi semakin miskin. Tidak ada perubahan yang berarti yang dialami bangsa ini, ini dilihat dari masih saja ada masyarakat yang memakan nasi aking sebagai panganan sehari-hari. Di dalam iklan politiknya, Wiranto digambarkan seolah-olah sebagai sang penyelamat bangsa, dan orang yang mampu membaca hati nurani bangsa. Hal ini diperkuat dengan adanya adegan Wiranto duduk bersama dengan rakyat sambil memakan nasi aking. Betapa meng-hero¬-nya Wiranto di sana. Padahal sebelumnya Wiranto merupakan ‘hantu’ di masa lalu. Oleh beberapa kalangan, ia masih dianggap bertanggung jawab kepada bangsa atas kasus Timor-Timur dan tragedi Mei 1998. Namun hadirnya iklan ini seolah ingin menghapuskan ingatan masyarakat atas bayangan masa lalunya.

Prabowo Subiyanto juga ikut hadir dengan iklan politik yang hampir sama dan senada dengan Wiranto. Iklan politiknya yang mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan nasib petani dengan membeli barang-barang kebutuhan pokok di pasar tradisional, merupakan keinginannya untuk dicitrakan sebagai figur yang sangat konsern terhadap rakyat kecil, dalam hal ini petani dan pedagang pasar tradisional. Ia juga ingin publik lupa terhadap dosa masa lalunya, sebagai Panglima Kostrad ia dinilai bertanggungjawab atas hilangnya mahasiswa-mahasiswa di tahun 1998.
Sementara itu Rizal Mallarangeng, seorang tokoh muda, juga mencoba menyemangati bangsa dengan iklan politiknya yang terkenal dengan ungkapan “when there is a will, there is a way”. Rizal sebagai tokoh muda, mencoba mencitrakan dirinya sebagai pemuda yang penuh dengan ide perubahan terhadap permasalahan bangsa yang sangat kompleks ini dengan ungkapan sederhananya tersebut. Rizal seolah-olah ingin tampil sebagai orang baru –new hero- yang penuh dengan optimisme untuk memperbaiki bangsa yang tengah carut-marut ini.

SBY belakangan juga ikut latah membuat iklan politik, entah sebagai respon atas kritikan-kritikan yang ada atas kinerjanya atau hanya sebatas untuk menaikkan popularitasnya. Di dalam iklan politiknya SBY mengungkapkan keberhasilan-keberhasilan dirinya selama memerintah Indonesia. Menggunakan sumber data yang berbeda dengan Wiranto, SBY mengungkapkan bahwa kemiskinan di Indonesia telah berhasil dikurangi. Pengangguran juga ikut berkurang. SBY juga mengumbar pertumbuhan ekonomi selama kepemimpinannya merupakan pertumbuhan ekonomi tertinggi setelah Orde Baru. Akan tetapi pada intinya tetap sama, iklan politik yang ada hanya ditujukan untuk menggambarkan datangnya superhero baru, yang akan mengubah Indonesia dalam waktu sekejap. Bisakah?


Iklan Politik: Sekedar Untuk Menaikkan Popularitas


Merujuk pada Firmanzah dalam buku Marketing Politik, iklan politik yang ada di Indonesia baru sekedar untuk menimbulkan citra politik, untuk membedakan atau mendiferensiasikan antara satu kandidat atau parpol dengan kandidat atau parpol yang lain. Diferensiasi ini dapat berakibat pada terjadinya perang citra antara satu kandidat atau parpol dengan kandidat atau parpol yang lain.

Tercermin dari keseluruhan iklan politik yang penulis angkat di atas pada hakikatnya hanya bertujuan untuk meningkatkan citra dan popularitas masing-masing tokoh politik untuk Pemilu dan Pilpres 2009. Sehingga yang terjadi hanyalah perang citra. Bagaimana satu iklan yang ada ditujukan untuk menaikkan citra salah satu tokoh, tapi dalam kesempatan yang sama juga menurunkan citra tokoh lain. Misalnya, iklan Wiranto dan Prabowo yang ditujukan untuk menaikkan citra dan tentunya tingkat popularitas mereka. Pada waktu yang bersamaan, materi iklan keduanya merupakan kritik terhadap Pemerintahan saat ini. Sebagai Presiden tentunya SBY-lah sasaran tembak keduanya.
Citra politik ini tidak selalu mencerminkan realitas objektif. Suatu citra politik juga dapat mencerminkan hal yang tidak riil, imajinasi yang terkadang bisa berbeda dengan kenyataan fisik. Citra politik dapat diciptakan, dibangun dan diperkuat. Citra politik dapat melemah, luntur dan hilang dalam sistem kognitif masyarakat.
Keadaan ini dapat pula kita lihat dari iklan politik yang ada. Di mana selama ini iklan politik baru ditujukan untuk menaikkan citra seseorang, dengan cara apapun. Sehingga kemudian, banyak iklan politik yang ada melekatkan citra seseorang tokoh politik, dengan citra yang tidak riil. Para tokoh politik tersebut dalam iklan mereka ditampilkan seolah-olah sebagai tokoh yang berjasa besar bagi publik, seolah-olah telah melakukan kontribusi besar bagi bangsa, seolah-olah tanpa cacat, padahal dalam kenyataannya nol besar. Belum ada satupun kontribusi tokoh tersebut bagi bangsa. Bahkan parahnya, tokoh tersebut telah secara nyata merugikan bangsa di masa lalu.

SB misalnya, dalam realitanya ia hanya merupakan seorang pengusaha batik yang kemudian menjadi ketua umum PAN. Belum pernah ada dalam ingatan kita, kontribusi SB seperti kontribusinya Chairil Anwar yang telah memberikan puisi-puisi penyemangat bagi pahlawan Indonesia. Atau seperti Soe Hok Gie yang senantiasa kritis mengkritik pemerintahan Orde Lama saat itu melalui tulisannya. Dan juga seperti Harry Roesli yang melantunkan nyanyian-nyanyian berisi kritikan terhadap pemerintah. Tidak pernah tercatat sedikitpun bahwa SB adalah penulis puisi, esai ataupun penyanyi, seperti ketiga nama yang ia catut dalam iklan politiknya. Bahwa ia adalah seorang pengusaha batik yang kemudian menjadi ketua umum parpol, memang benar adanya. Namun tidak lebih dari itu. Di sini dapat kita lihat, bahwa moto hidup adalah perjuangan-nya SB hanyalah sebuah imajinasi yang ingin diciptakan dan dibangun SB kepada masyarakat, untuk seolah-olah menjadi sebuah realita.

Sama dengan iklan politik milik Prabowo Subianto, apakah sebelum hadirnya iklan politik Prabowo masyarakat telah mengenal Prabowo sebagai seseorang yang memiliki konsern terhadap pedagang pasar dan petani. Atau pertanyaan yang lebih mendasar adalah, apakah dalam kesehariannya Prabowo juga belanja di pasar tradisional. Adalah sebuah kenyataan bahwa di atas pengakuannya sebagai pembela petani dan pedagang, Prabowo hidup dengan gaya mentereng, jauh berbeda dengan kaum yang hendak dibelanya. Akhirnya –lagi- publik dibuat kecewa dengan kenyataan bahwa iklan politik yang dibuat Prabowo adalah sekedar imajinasi yang hendak dibuat riil. Adapun kenyataan riil yang melekat di masyarakat adalah dirinya sebagai Panglima Kostrad di tahun 1998, Prabowo bertanggung jawab atas hilangnya mahasiswa saat itu. Namun akhirnya publik melupakan hal ini, sebab Prabowo telah berhasil ‘meninabobokan’ publik dengan imajinasi barunya.

Imajinasi politik serupa juga hendak ditanamkan Wiranto, yang seolah-olah paham benar dengan penderitaan rakyat dengan adegannya makan nasi aking. Padahal, Wiranto dinilai bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Timor-Timur dan tragedi Mei 1998. Sama seperti yang lainnya, Wiranto mencoba menjadi superhero dalam iklannya agar rakyat lupa. Iklan politik SBY juga sama, hanya ditujukan untuk menaikkan popularitas dan membuat imajinasi yang seolah riil. Meskipun SBY secara ekonomi dapat dikatakan lebih baik dibandingkan dengan presiden sebelumnya, tetap saja keadaan ekonomi Indonesia masih buruk. Tidak se-ideal gambaran SBY di dalam iklan politiknya.

Iklan Politik PDIP : Munculnya Perang Wacana

Meskipun keseluruhan iklan politik yang ada mencoba untuk membawa gagasan baru untuk Indonesia, namun pada hakikatnya tujuan kesemuanya adalah sama : yakni untuk memperbagus citra dan meningkatkan tingkat popularitas. Akan tetapi, ada yang berbeda dengan iklan terbaru PDIP yang menjabarkan mengenai program 100 hari Megawati Soekarnoputri jika terpilih sebagai Presiden. Dengan tag line ‘Perjuangkan Sembako Murah’, ada enam langkah kebijakan yang dijanjikan akan ditempuh dalam upaya untuk mewujudkan sembako murah, yaitu:
• Menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang lebih adil
• Mempercapat perbaikan dan pembangunan jaringan irigasi
• Menyediakan pupuk dan bibit murah yang berkualitas
• Meningkatkan operasi pasar untuk menurunkan harga sembako
• Memperkuat koperasi petani, lumbung pangan dan membangun Bank Pertanian
• Mengenadlikan impor sembako yang merugikan petani dan nelayan
Terlepas dari tujuan iklan politik yang memang tidak dapat dilepaskan untuk meningkatkan tingkat popularitas, namun iklan politik ini menawarkan sebuah gagasan baru mengenai perang wacana. Jika iklan yang ada selama ini sekedar perang pencitraan. Maka PDIP mencoba menabuh genderang dimulainya perang wacana, yang menitikberatkan iklan politik terhadap sosialisasi kebijakan-kebijakan yang akan dilaksanakan oleh kandidat terpilih. Meskipun poin-poin yang ada di iklan tersebut masih penuh tanda tanya untuk merealisasikannya, namun patut diapresiasi bahwa iklan politik ini sebagai momentum awal kemunculan iklan politik lain yang juga menawarkan wacana penyelesaian terhadap masalah bangsa.

Sebagai respon atas iklan PDIP, diharapkan muncul pula iklan-iklan politik serupa, yang secara konsern dan detil menawarkan konsep-konsep yang akan membawa perubahan bagi bangsa. Jika dengan ekonomi kerakyatan yang bernuansa sosialis, PDIP menawarkan perbaikan bangsa dengan menawarkan kebijakan yang berpihak pada petani. Lalu, yang ditunggu saat ini adalah apa konsepsi yang akan ditawarkan partai dengan nuansa ekonomi liberal, nasional relijus atau Islam. Melalui iklan politik yang seperti ini, yang menawarkan konsepsi-konsepsi baru bagi perbaikan bangsa, rakyat akan tercerdaskan karena ikut diajak berfikir untuk memikirkan solusi masalah bangsa. Akhirnya nanti pilihan rakyat jatuh pada parpol ataupun kandidat yang mampu menyuguhkan wacana terbaik untuk perbaikan bangsa. Tidak lagi pada kandidat atau parpol yang berhasil mencitrakan dirinya dengan baik. Sehingga tidak ada lagi kandidat yang terpilih karena wajah gantengnya, wibawa yang seolah-olah terpancar dari dalam dirinya, atau bahkan sekedar senyum manisnya.

Berkaca pada iklan politik yang ada di negara maju seperti AS, menurut Bowers (1972) yang meneliti iklan politik calon presiden di surat kabar 23 negara bagian kebanyakan iklan politik yang berfokus pada isu lebih dominan dibandingkan dengan personalitas. Sama halnya dengan iklan politik di televisi, menurut Joslyn, iklan politik yang berfokus pada isu mencapai 60-80 persen daripada citra kandidat. Merujuk pada Indonesia, sebagaimana diulas di atas, iklan politik yang ada hanya sekedar ditujukan untuk meningkatkan citra kandidat. Sosok kandidat sebagai superhero bagi rakyat yang sedang kesusahan jauh lebih banyak ditampilkan ketimbang wacana perubahan yang ditawarkan kandidat tersebut. Sehingga akhirnya, jika kita secara cerdas lebih jauh mencerna iklan politik yang ada, kita hanya akan dibuat tertawa. Sebab iklan politik yang ada benar-benar hanya merupakan dagelan politik, yang sebenarnya tidak lucu. Hanya merupakan rekayasa, sebab tidak ada citra yang ingin ditampilkan kandidat tidak memiliki korelasi dengan isu yang dibawanya. Melihat iklan politik pada akhirnya sama seperti melihat orang memakai jas hujan di tengah hujan terik. Maka mari mendorong dan menekan para kandidat yang ada untuk ikut serta menyumbang konsepsi mereka bagi perubahan dan perbaikan bangsa.
Wallahua’lam bisshowab

Sumber Tulisan :
1. Firmanzah, Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007)
2. http://theindonesianinstitute.com/index.php/20080923269/Iklan-Politik-Simbol-Ketidakpekaan-Elite.html
3. http://www.habibiecenter.or.id/index.cfm?menu=publikasi&fuseaction=publikasi.detail&detailid=191&bhs=ina