Minggu, 04 April 2010

SAYAP UNTUK TERBANG

Perut saya kian hari kian membesar. Dalam hitungan enam bulan, saya seperti menyembunyikan sebuah balon di dalam perut saya. Seorang rekan kerja saya juga memperhatikan perut saya dengan pandangan yang ‘amazing’. “Bagaimana rasanya? Sudah ada gerakan-gerakan?” Tanyanya suatu ketika sambil memandangi perut saya. “Mmmm…. Rasanya amazing…sulit dibayangkan ada makhluk hidup sedang tumbuh di perut saya… Sudah ada gerakan-gerakan halus seperti gelembung udara…blup-blup-blup….”, kata saya sambil tertawa. Dia pun ikut tertawa sambil mengatakan keinginannya untuk segera menikah. Hanya saja belum siap secara mental. Saya hanya diam.
Tiba-tiba saja saya teringat komentar salah satu anak freelance di kantor kami beberapa pekan lalu. Ketika rekan-rekan kantor saya mulai sibuk mengomentari kehamilan dan pertambahan berat saya yang amat sangat drastis itu, ia tiba-tiba saja mengeluarkan komen yang mengejutkan, “saya ingin sekali punya anak”. Saya tersenyum, sambil ingin menyuruhnya cepat menikah. Tetapi belum-belum satu kata keluar dari mulut saya, ia melanjutkan kembali kalimat yang ia gantungkan, “tapi saya sudah punya sindrom baby blues… Kalau saya punya anak di usia saya saat ini, maka kalau dihitung-hitung waktu kebebasan saya hanya tiga tahun. Untuk sekolah sampai strata 1 saja memakan waktu hingga 22 tahun, usia saya sekarang 25 tahun. Kalau saya menikah dan punya anak di usia ini, maka kebebasan saya hanya tiga tahun. Bagaimana karir saya?”
Saya hanya diam. Alasan klasik. Tetapi atas nama penghargaan terhadap perbedaan pemikiran, saya menghargainya. “Ketika saya nanti punya anak, saya ingin benar-benar mengurusnya. Saya ingin menjadi ibu yang baik bagi anak saya. Tapi ya…. Kalau punya anak saat ini konsekuensinya berat” ia berucap sambil memandang layar komputernya. “Alasan klasik perempuan masa kini,” saya berujar dalam hati. Pernikahan, dalam hal ini kehadiran suami dan terlebih anak, seringkali diidentifikasikan sebagai sebuah stagnasi dalam berkarir, bahkan ekstrimnya penurunan.
Padahal nyatanya tidak demikian. Suami dan anak memang akan menjadi penyebab stagnansi karir perempuan, jika perempuan ingin berfikir demikian. Dalam mind set perempuan tipe ini, keruwetan mengurus urusan rumah tangga akan membuat banyak energi perempuan keluar. Akibatnya, perempuan tidak lagi punya energi yang cukup untuk pekerjaannya. Akhirnya hanya tiga pilihannya: tetap fokus pada pekerjaan sedangkan anak terbengkalai, keluar dari kantor karena kelelahan atau dipecat atasan karena pekerjaan yang tidak beres.
Namun jika perempuan mau menggunakan kaca mata yang berbeda, maka suami dan anak sesungguhnya pemompa semangat dalam berkarir ataupun eksistensi diri. Mengenai pembagian waktu antara pekerjaan dan anak sepertinya sudah ada seribu satu macam tulisan membahas masalah ini. Akan tetapi yang ingin saya tekankan adalah mengenai mindset perempuan terhadap keluarga dan eksistensi diri. Berkeluarga, memiliki anak, jika perempuan ingin pandang sebagai sebuah kekuatan baru, maka pada hakikatnya mereka memang sebuah kekuatan baru bagi kita untuk melecut eksistensi diri.
Mereka, pada hakikatnya, adalah sayap baru yang lebih kuat dan lebih kokoh, dari milik kita sebelumnya, untuk terbang mencapai impian-impian kita. Kehadiran anak memang akan mengambil waktu-waktu yang kita miliki. Akan tetapi, saya melihat, dengan hadirnya anak maka kita akan semakin dituntut untuk membuktikan kepada anak eksistensi diri kita. Maksudnya adalah, begitu banyak orang tua menginginkan anaknya menjadi orang yang hebat. Entah menjadi dokter, pengacara, insinyur, apapun profesinya, intinya mereka menginginkan anak mereka sukses. Akan tetapi pertanyaan selanjutnya adalah, sudahkah kita memberikan contoh kesuksesan yang kita inginkan kepada anak-anak kita?
Saya tidak akan berpanjang-panjang dalam masalah ini, namun saya sadar, eksistensi kita dalam berkarir ataupun berkarya harusnya terlecut dengan hadirnya keluarga. Sebab kepada anak, saya ingin dia melihat, merasakan dan akhirnya belajar dari saya sendiri untuk menjadi sukses. Saya tidak ingin menjadi ibu masa kini kebanyakan, yang permissive untuk tidak melakukan eksistensi diri setelah berkeluarga. Pada akhirnya nilai-nilai yang ditanamkan kepada anak-anak mereka adalah “Nak, tidak perlulah cepat berkeluarga, raih dulu kesuksesanmu…Nanti anak-anakmu mau dikasih makan apa?”.

Saya jelas oposisi ibu-ibu jenis ini. Sebab keluarga adalah sayap baru saya untuk terbang meraih mimpi. Sedangkan anda?


Fitria Nur Fadhilah
(Ditulis untuk Khalifah -Majalah Motivas dan Inspirasi)

Tidak ada komentar: