Kamis, 28 Maret 2013

welcome back

Rasanya sudah lama sekali saya tidak menulis di blog. Kalau berdasarkan tulisan terakhir yang saya posting, mungkin kira-kira dua tahun ya.... kemana saja ya selama itu? ^^, Barusan sempet baca blog-blog beberapa orang yang lucu-lucu, yang bikin senyum-senyum sendiri dan akhirnya memotivasi u nge-blog lagi. Jadi, dengan mengucap 'bismillahirrahmanirrahim', saya bertekad untuk nge-blog lagi. Yaaa, meskipun mungkin isinya sampahan isi hati, cumann gapapa lah ketimbang ga nulis sama sekali ;)

Minggu, 04 April 2010

SAYAP UNTUK TERBANG

Perut saya kian hari kian membesar. Dalam hitungan enam bulan, saya seperti menyembunyikan sebuah balon di dalam perut saya. Seorang rekan kerja saya juga memperhatikan perut saya dengan pandangan yang ‘amazing’. “Bagaimana rasanya? Sudah ada gerakan-gerakan?” Tanyanya suatu ketika sambil memandangi perut saya. “Mmmm…. Rasanya amazing…sulit dibayangkan ada makhluk hidup sedang tumbuh di perut saya… Sudah ada gerakan-gerakan halus seperti gelembung udara…blup-blup-blup….”, kata saya sambil tertawa. Dia pun ikut tertawa sambil mengatakan keinginannya untuk segera menikah. Hanya saja belum siap secara mental. Saya hanya diam.
Tiba-tiba saja saya teringat komentar salah satu anak freelance di kantor kami beberapa pekan lalu. Ketika rekan-rekan kantor saya mulai sibuk mengomentari kehamilan dan pertambahan berat saya yang amat sangat drastis itu, ia tiba-tiba saja mengeluarkan komen yang mengejutkan, “saya ingin sekali punya anak”. Saya tersenyum, sambil ingin menyuruhnya cepat menikah. Tetapi belum-belum satu kata keluar dari mulut saya, ia melanjutkan kembali kalimat yang ia gantungkan, “tapi saya sudah punya sindrom baby blues… Kalau saya punya anak di usia saya saat ini, maka kalau dihitung-hitung waktu kebebasan saya hanya tiga tahun. Untuk sekolah sampai strata 1 saja memakan waktu hingga 22 tahun, usia saya sekarang 25 tahun. Kalau saya menikah dan punya anak di usia ini, maka kebebasan saya hanya tiga tahun. Bagaimana karir saya?”
Saya hanya diam. Alasan klasik. Tetapi atas nama penghargaan terhadap perbedaan pemikiran, saya menghargainya. “Ketika saya nanti punya anak, saya ingin benar-benar mengurusnya. Saya ingin menjadi ibu yang baik bagi anak saya. Tapi ya…. Kalau punya anak saat ini konsekuensinya berat” ia berucap sambil memandang layar komputernya. “Alasan klasik perempuan masa kini,” saya berujar dalam hati. Pernikahan, dalam hal ini kehadiran suami dan terlebih anak, seringkali diidentifikasikan sebagai sebuah stagnasi dalam berkarir, bahkan ekstrimnya penurunan.
Padahal nyatanya tidak demikian. Suami dan anak memang akan menjadi penyebab stagnansi karir perempuan, jika perempuan ingin berfikir demikian. Dalam mind set perempuan tipe ini, keruwetan mengurus urusan rumah tangga akan membuat banyak energi perempuan keluar. Akibatnya, perempuan tidak lagi punya energi yang cukup untuk pekerjaannya. Akhirnya hanya tiga pilihannya: tetap fokus pada pekerjaan sedangkan anak terbengkalai, keluar dari kantor karena kelelahan atau dipecat atasan karena pekerjaan yang tidak beres.
Namun jika perempuan mau menggunakan kaca mata yang berbeda, maka suami dan anak sesungguhnya pemompa semangat dalam berkarir ataupun eksistensi diri. Mengenai pembagian waktu antara pekerjaan dan anak sepertinya sudah ada seribu satu macam tulisan membahas masalah ini. Akan tetapi yang ingin saya tekankan adalah mengenai mindset perempuan terhadap keluarga dan eksistensi diri. Berkeluarga, memiliki anak, jika perempuan ingin pandang sebagai sebuah kekuatan baru, maka pada hakikatnya mereka memang sebuah kekuatan baru bagi kita untuk melecut eksistensi diri.
Mereka, pada hakikatnya, adalah sayap baru yang lebih kuat dan lebih kokoh, dari milik kita sebelumnya, untuk terbang mencapai impian-impian kita. Kehadiran anak memang akan mengambil waktu-waktu yang kita miliki. Akan tetapi, saya melihat, dengan hadirnya anak maka kita akan semakin dituntut untuk membuktikan kepada anak eksistensi diri kita. Maksudnya adalah, begitu banyak orang tua menginginkan anaknya menjadi orang yang hebat. Entah menjadi dokter, pengacara, insinyur, apapun profesinya, intinya mereka menginginkan anak mereka sukses. Akan tetapi pertanyaan selanjutnya adalah, sudahkah kita memberikan contoh kesuksesan yang kita inginkan kepada anak-anak kita?
Saya tidak akan berpanjang-panjang dalam masalah ini, namun saya sadar, eksistensi kita dalam berkarir ataupun berkarya harusnya terlecut dengan hadirnya keluarga. Sebab kepada anak, saya ingin dia melihat, merasakan dan akhirnya belajar dari saya sendiri untuk menjadi sukses. Saya tidak ingin menjadi ibu masa kini kebanyakan, yang permissive untuk tidak melakukan eksistensi diri setelah berkeluarga. Pada akhirnya nilai-nilai yang ditanamkan kepada anak-anak mereka adalah “Nak, tidak perlulah cepat berkeluarga, raih dulu kesuksesanmu…Nanti anak-anakmu mau dikasih makan apa?”.

Saya jelas oposisi ibu-ibu jenis ini. Sebab keluarga adalah sayap baru saya untuk terbang meraih mimpi. Sedangkan anda?


Fitria Nur Fadhilah
(Ditulis untuk Khalifah -Majalah Motivas dan Inspirasi)

9 Bulan : Masa Indoktrinasi

Masa trimester pertama kehamilan bagi mayoritas perempuan adalah masa terberat. Masa ini merupakan penyesuaian bagi organ tubuh selain untuk menyesuaikan diri dengan adanya janin di rahim. Organ yang paling ‘shock’ terhadap kehadiran si janin adalah lambung. Maka kemudian wajar saja ketika mayoritas perempuan yang tengah hamil mengalami mual-mual atau bahkan sampai muntah dan tidak memiliki nafsu makan.
Meski tidak menderita rasa mual yang cukup parah, namun saya sempat ‘frustasi’ di trimester pertama kehamilan saya. Frustasi, karena jujur saja saya paling benci menderita rasa mual yang terkadang berujung pada muntah.
Karena saya memiliki magh yang cukup akut, maka rasa mual tersebut mengingatkan saya pada hari-hari panjang saya muntah-muntah sepanjang hari tanpa henti. Belum lagi dengan selang infuse yang akan hinggap di tangan saya selama berhari-hari. Sungguh saya trauma sekali di masa kehamilan ini akan berujung sama seperti ketika saya terkena magh, sehingga saya harus masuk rumah sakit.
Kefrustasian saya akhirnya berujung pada comment saya di wall facebook salah seorang teman saya. “Sopiiiiii….rasanya mau cepet-cepet aja ngelahirin…..” Begitu tulisan saya kurang lebihnya. Saya ingin sekali, selain cepat-cepat melihat bayi mungil saya, juga melewati masa kehamilan yang menurut saya ‘berat’ untuk masa-masa mual yang saya alami.
Esoknya tiba-tiba teman saya menelfon, “Pipiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttt…dudul banget sih…” waduh, tiba-tiba saya sudah disemprot olehnya di awal percakapan. “Kandungan itu adalah tempat paling aman buat bayi lo… Ga ada orang yang bisa mempengaruhi bayi lo, selain lo sendiri”. Ucapannya benar. Selama Sembilan bulan, kita memiliki waktu untuk ‘mengindoktrinasi’ perilaku, pola pikir, dan banyak hal pada janin kita. Dan hanya kita –ibunya- yang dapat melakukan itu. Tanpa sedikitpun akan mendapat intervensi dari orang lain.
“Cinta janin hanya untuk lo seorang. Dan lo hanya akan menjadi satu-satunya yang bisa janin rasakan sebagai orang yang mencintainya. Maka cintailah dia sepuasnya saat ini. Di Sembilan bulan yang sangat singkat ini.” Tanpa tedeng aling-aling dia terus menasehati saya, tanpa sanggup saya sela. “Nanti kalo dia udah brojol ke dunia. Elo sendiri yang repot, cintanya akan terbagi. Gak Cuma ke elo, tapi ke lingkungan sekitar, teman-temannya, sahabatnya, atau bahkan laki-laki/perempuan yang akan menjadi pasangannya. Saat itu entah lo akan menempati urutan keberapa”.
Cess…. Seperti sebuah pisau yang menancap dalam ke dada saya. Benar nasihatnya. Yang paling menyedihkan adalah kenyataan bahwa setelah nanti bayi saya hadir di dunia ini, maka mau tidak mau, cintanya akan terbagi. Dan kita tidak lagi dapat mengintervensi seberapa besar porsi cinta yang harus ia berikan pada kita. Semuanya menjadi otoritas pribadi miliknya.
“Makanya…nikmatin aja masa Sembilan bulan ini. Sebentar doang kok….” Begitu statement terakhir dari teman saya. Memang benar, masa Sembilan bulan hanya masa yang singkat, jika dibandingkan dengan usia rata-rata manusia. Maka sudah seharusnya di masa kehamilan ini saya benar-benar menikmatinya, meski terkadang harus diinterupsi dengan rasa mual. Nikmati saja.
Maka kepada seluruh ibu yang tengah mengandung, mari kita nikmati kehamilan kita. Jangan pula lupa, semaikan banyak cinta kepada janin, agar nantinya ketika ia lahir ke dunia, meski cintanya akan terbagi, namun kita mendapatkan porsi yang paling besar.
Jangan pula lupa mengajak janin kita berbicara dan tanamkan indoktrinasi-indoktrinasi agama dan kebenaran, yang nantinya akan ia jadikan pegangan ketika hidupnya. Ingat, masa golden age adalah 0-7 tahun. Di usia dini inilah justru kita harus tanamkan sebanyak mungkin indoktrinasi kebaikan. Sebab ketia ia lahir, lingkungan dari segala penjuru mata angin akan ‘menyerbunya’ dan ikut pula membentuk pola fikir dan tingkah lakunya. Jika ia memiliki lingkungan yang baik, dan kita memberika indoktrinasi yang baik pula, maka insyaa Alloh, anak kita akan menjadi anak yang baik. Dan meskipun lingkungan memberikan pengaruh buruk, namun kita telah memberikan indoktrinasi kebaikan sejak dini, anak kita –insyaa Alloh- tetap akan menjadi anak yang baik. Namun jika lingkungannya sudah memberikan pengaruh yang buruk ditambah ketiadaan indoktrinasi, maka anak seperti apa yang akan terbentuk dari dua keadaan buruk di atas? Wallahu a’lam.
Kalau difikir, memang benar ternyata, masa mengandung adalah masa paling aman bagi anak kita.
“audzu bikalimatillahittaammaati min syarri ma kholaq”
“Duhai Tuhan, aku berlindung dengan kalimat kebaikan-Mu dari segala kejahatan makhlukmu”

Fitria Nur Fadhilah
(Ditulis untuk Khalifah -majalah motivasi dan inspirasi)

Pada suatu waktu dan waktu-waktu yang lain

Pada suatu waktu, aku pernah benar-benar berharap Tuhan datangkan padaku seseorang yang benar-benar mencintaiku…

Dan pada waktu-waktu yang lain, aku pernah benar-benar berharap hidup sendirian saja, cukup dengan mengejar impian hingga ia menjadi kenyataan…

Pada suatu waktu, Tuhan mendatangkanku seseorang dari dunia khayalku yang memberikan cintanya padaku…

Dan pada waktu-waktu yang lain, Tuhan membuatku berhenti berkhayal tentang pangeran khayalan, dan mendudukkanku dalam dunia realita, bahwa pangeran khayalan hanya indah untuk dikhayalkan, namun tidak indah dalam wujud nyata…

Pada suatu waktu, Tuhan memberikanku kebahagiaan untuk saling mencintai…

Dan pada waktu-waktu yang lain, Tuhan mencobaku dalam proses itu…

Pada akhirnya kupahami,
Tuhan akan selalu memberikan kita banyak kenikmatan…
Tapi tentunya,
Tuhan akan pula memberikan kita cobaan…

Sebab malam akan selalu hadir selepas siang…
Dan kering kerontang akan selalu diikuti lebat hujan…

Maka pekerjaan kita adalah bagaimana menikmati postulat Tuhan itu…
Tetap tersenyum di sela tangis…
Dan tetap menangis di sela senyum…

Kuala Lumpur,
00:15
11.09.09

Rabu, 09 Desember 2009

Suamiku, aku rela meninggalkanmu…

“Apabila kepentingan perkawinan bertumbukan dengan kepentingan dakwah kepada Allah, maka perkawinan akan berhenti dan kepentingan dakwah akan terus berlanjut dalam semua kegiatan dan kehadiranku…”

(Zainab Al-Ghazali)

Inilah yang dikatakan Zainab Al-Ghazali sebelum menikah dengan suaminya Muhammad Salim. Bagi Zainab, pernikahan tidaklah boleh menjadi alasan bagi dirinya untuk melemah atau bahkan absen dari kontribusi terhadap da’wah. Untuk menjaga hal ini Zainab bahkan tidak meminta mahar kepada calon suaminya saat itu. Baginya, cukup janji calon suaminya untuk tidak melarang dirinya menunaikan tugas di jalan Allah SWT sebagai pengganti atas maharnya.

Hubaib bin Maslamah al-Fahri seorang panglima perang memiliki istri yang juga merupakan prajurit dalam pasukannya. Sebelum berperang melawan pasukan Romawi, istrinya bertanya, “Di mana aku menemuimu bila perang telah berkecamuk dan barisan pasukan bercerai-berai?”. Dia menjawab, “Kamu akan menemuiku di tenda panglima Romawi atau di Syurga”. Setelah perang berkecamuk, dan Allah SWT memberikan kemenangan kepada tentara muslim, Hubaib segera menuju kemah panglima Romawi untuk menunggu istrinya. Namun ternyata, istrinya telah berada di tenda panglima pasukan Romawi terlebih dahulu. Pernikahan tidak membuatnya terlena sebagai prajurit.

Ummu Imarah (Nusaibah binti Ka’ab) menjadi tameng bagi Rasul saat perang uhud. Atas keperkasaannya ini hingga suatu saat Rasul mengucapkan, “Aku tidak menoleh ke kiri dan ke kanan pada perang Uhud, melainkan aku selalu melihatnya berperang melindungiku”. Ummu Imarah tetap sigap, meski ia sudah menjadi seorang ibu.

Pernikahan, tidak membuat peran ketiga perempuan tersebut memudar dari ranah da’wah. Pernikahan justru membuat kontribusi mereka berlipat ganda dalam menghidupkannya. Ranah yang kini kerap kali ditinggalkan oleh para perempuan ketika memasuki pernikahan. Mereka cenderung terjebak dalam aktivitas domestik, hingga melupakan tanggung jawabnya dalam berda’wah di masyarakat.

Perempuan masa kini dan pernikahan

Perempuan, sebelum menikah seringkali lebih banyak mengisi aktivitas kesendiriannya dengan hal-hal yang bersifat pemenuhan ke-egoan dibandingkan untuk memenuhi panggilan da’wah. Semua kegiatan dilakoni dengan judul “mumpung belum menikah”. Perbincangan pra menikah pun lebih sering mengenai impian-impian mengenai siapa dan bagaimanakah sosok ‘pangeran berkuda putih’nya akan datang, dibandingkan langkah-langkah besar apa yang akan dilakukan untuk da’wah bersama pangeran tersebut.
Sedangkan setelah menikah, perempuan seringkali terjebak dalam pemikiran sempit mengenai kewajiban seputar urusan rumah tangga. Sehingga persiapan yang dilakukan menjelang pernikahanpun, hanya berkisar bagaimana memasak masakan yang lezat, mencuci baju yang bersih kemudian menyetrikanya hingga licin. Bahkan, ketika memiliki buah hati, perempuan –lagi-lagi– terjebak dalam rutinitas mengurus anak, setelah sebelumnya hanya mengurus suami. Soal da’wah? Urusan belakangan, bila sempat, “Namanya ibu-ibu, maklumlah…”, selalu begitu dalihnya.

Akhirnya, setelah menikah perempuan menjadi jumud, statis dalam berda’wah karena hanya memerankan peranan domestik. Padahal perempuan hadir di dunia ini tidak sekedar untuk menjadi isteri dan ibu. Perempuan lupa, bahwa ia juga hamba Allah yang memiliki kewajiban berda’wah, status yang sama dipikul oleh kaum lelaki. Sebagaimana Allah berfirman, “Orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang makruf dan mencegah yang mungkar.” (At Taubah: 71).

Kealfaan Perempuan Masa Kini dalam Menyusun Konsepsi Berda’wah Setelah Menikah

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Mengapa pula manusia-manusia super pemberi kontribusi besar bagi kebangkitan Islam lebih banyak lahir di masa lalu? Jawabannya jelas, perempuan masa kini alfa untuk menyusun konsepsi da’wahnya setelah menikah. Hal yang tidak dilakukan oleh perempuan-perempuan hebat pencetak sejarah dan juga penghasil generasi bersejarah di masa lalu.

Pada akhirnya pernikahan bagi kebanyakan perempuan saat ini hanya sekedar penambahan, satu ditambah satu menjadi dua. Sehingga dalam berda’wah, bila sebelumnya kita sendiri, sekarang menjadi berdua. Cukup sampai di situ. Bahkan, lebih sering pernikahan menjadi pengurangan. Perempuan, karena mengurus pasangannya, kekuatannya dalam berda’wah menjadi surut, dan sisa hanya tinggal setengah. Naudzubillah.

Padahal pernikahan sejatinya bukanlah sekedar pertambahan, satu dengan satu sehingga menjadi dua. Apalagi menjadi pengurangan. Pernikahan sejatinya adalah pelipatgandaan seseorang menjadi lima, sepuluh, bahkan seratus. Sehingga bersatu padunya dua insan manusia di dalam mahligai pernikahan, akan menjadikan kontribusinya pada da’wah berlipat ganda. Berlipat ganda bukan sekedar akan memiliki anak 5 atau bahkan sepuluh. Namun lebih pada kekuatan tempurnya dalam da’wah yang menjadi berlipat ganda.

Bila konspesi ini dimiliki oleh perempuan sebelum menikah, maka pernikahan tidak akan menjadi gerbang kejumudan bagi perempuan. Tetapi justru merupakan gerbang perubahan, menuju langkah-langkah besar dalam berda’wah. Dari awalnya sendirian menjadi berjama’ah.

Pernikahan justru tidak membuat Zainab Al-Ghazali lebih permisif dalam aktivitas kejama’ahannya di ranah publik. Meski ia juga memiliki kewajiban di dalam rumah tangga, namun itu tidak menjadi alasan. Ia bahkan jauh lebih produktif setelah menikah.

Senada dengan Istri Hubaib sang panglima perang, kisah di atas membuktikan bahwa di dalam perang tersebut sang istri begitu tangkasnya dalam berperang hingga mampu mendahului Hubaib masuk ke kemah panglima perang. Begitupula dengan Ummu Imarah, yang tetap sigap dan mampu menjadi tameng Rasul, meskipun status ibu-ibu tengah di sandangnya.

What Women Should do…

Sebelum menikah, perempuan harus sudah menyiapkan rencana besar mengenai langkah-langkah pelipatgandaan diri dalam kontribusinya dalam da’wah. Hal-hal apa sajakah yang menjadi kewajiban dan keharusan baginya yang dilakukan untuk da’wah setelah menikah. Begitupula dengan hal-hal yang tidak bisa dinegosiasikan ataupun dikompromikan untuk da’wah meski di dalam pernikahan.

Apabila sudah menikah, dan belum memiliki konsepsi kontribusi da’wah yang jelas, maka tidaklah terlambat untuk menyusunnya saat ini. Bersama suami bahkan lebih baik dan indah.

Kompromi di dalam pernikahan adalah sebuah kemutlakan. Tetapi tidak ada kompromi dalam hal minusnya kita dari da’wah. Maka semoga kita diberikan cukup kekuatan untuk mampu seperti Zainab, Istri Hubaib ataupun Ummu Imarah dalam berda’wah. Semoga pula kita mampu seperti Zainab yang mampu berucap :

“Kini aku mohon agar kau mau memenuhi janjimu itu. Jangan bertanya aku bertemu dengan siapa. Dan aku memohon dari Allah agar pahala jihad ini dibagi antara kita berdua bila Dia berkenan menerima baik amalku ini.
Aku menyadari, memang hakmulah untuk memberikan perintah kepadaku untuk aku patuhi. Akan tetapi Allah SWT dalam diriku lebih besar dari diri kita dan panggilanNya terasa lebih agung”

Semoga pula bila pernikahan menuntut kita meninggalkan da’wah, kita mampu berucap :
“Suamiku, maafkan aku, bila kau menghalangiku dari da’wah, sungguh aku rela meninggalkanmu….”


Fitria Nur Fadhilah
Writer_preneur
(Lihat majalah Khalifah, rubrik sekar masa)

Sabtu, 20 Juni 2009

Undangan Pernikahan




Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dengan mengucap rasa syukur kepada Allah, Rabb pencipta alam semesta, atas karunia dan curahan cinta yang diberikan kepada-Nya untuk kita.

Teman-teman, Insyaa Alloh Pipit akan melangsungkan akad nikah dan resepsi, pada :

Hari : Sabtu, 4 Juli 2009
Tempat : Islamic Centre Iqro, Jatimakmur, Pondok Gede
Waktu : Akad : 13.00 - 15.00
Resepsi : 16.00 - 20.00

Keterangan lebih lengkap, lihat undangan yang pipit attach ya...

PS : Maaf baru ngabarin, soalnya undangannya baru aja jadi, terus terjadi berkali-kali perubahan. Jangan lupa datang ya...

Senin, 02 Maret 2009

Menangislah

Menangislah...

Tapi Sejenak saja,
Jangan berlama-lama...

Menangislah...
Biarkan bulir-bulir air mata yang keluar mengobati lukamu...
Tetapi sebentar saja.

Menangislah...
Biar jadi lapang hatimu...
Tetapi sesengguk saja...

Menangislah...
Untuk semua duka dan penatmu...
Sebab itu menunjukkan kelembutan hatimu...
Perempuan.
Tetapi tidak perlu berlama-lama...
Sebab itu menunjukkan ketegaran yang kau miliki...

Menangislah...
Biar itu jadi obat hatimu...

Menangislah...
Tetapi jangan berlama-lama,
sayang...


Tanjung Bojong-Lampura
Sabtu 21 feb 2009
(sesudah mendengar ceramah ibu baik hati tentang menangis)